Senin, 12 Maret 2012

Cerpen Pertamaku :)

DISKRIMINASI TAK BERALASAN


            “Mungkin, hanya ini yang bisa bapak sampaikan pada kesempatan terakhir ini harapan bapak semoga kalian semua . . . “, itulah kalimat-kalimat terakhir yang ia sampaikan selaku Pembina Asrama, yang biasa kami panggil bapak dan langsung saja kalimat itu dipotong oleh salah satu dari kami “terakhir ?! wah, bapak jahat! Bapak tidak mau bertemu kami lagi ya?”, sontak semua anak-anak aneh yang berada di ruang itu berteriak dan menyetujui celetukan salah satu makhluk yang muncul diantara kami itu. Ya, ini adalah pembina dari kami semua, para anak kampung. Malam itu, derai air mata bercucuran, kecuali anak laki-laki, dan aku. Di suasana itu, bisa dikatakan aku seperti orang yang sangat tidak peka perasaannya. Jujur, disitu aku hanya terharu, bukan SANGAT TERHARU!
            “Disini, bapak hanya akan mengingatkan, selagi bapak masih ingat . . . “, demi Tuhan, itu adalah salah satu kalimat yang sangat tidak kreatif! Betapa tidak, Pa’Anto selaku pengganti dari orang lama, terus menerus, ulang berulang, kali berkali, selalu mengucapkan kalimat itu. Tiap kali aku mendengar kalimat itu, bergumamlah sanubariku dengan menggebu-gebu “Maukah kau ku buatkan kalimat lain bung! kau tak sadar kalimat mu itu sudah berlumut?”, keningku terkadang berkerut jika mendengar ucapan-ucapan yang kaluar dari bibirnya itu, atau setidaknya sekedar menaikkan alis kiri ku sebagai tanda bahwa aku tidak menyukai hal itu.
            Ternyata, hapalan jauh lebih baik dibandingkan dengan diskriminasi yang terjadi di rumah kedua  ini. Aku, Tiara Agustina yang memiliki banyak nama panggilan ini merasa jijik dan enggan menoleh ketika ada bau diskriminasi.
            “Bapaakkkk !!!”, seruku untuk menarik perhatiannya, tapi apa yang ku dapat? Seraut wajah dengan susunan yang aneh! Aku diabaikan. Jika dihitung, mungkin sudah sama jumlahnya antara aku diabaikan dan aku menghembuskan nafas, sering sekali. Disitu aku mengambil kesimpulan, DIA TIDAK SUKA DENGAN KU!
            Awalnya aku sabar dan bersikap biasa, ku anggap itu hanya ilusi ku belaka. Tapi, sesering itu kah aku berilusi? Dia orang tua ku disini, aku diperlakukan seperti ini? Sial, orang tua tapi berjiwa muda namun muda dalam konotasi berbeda, TIDAK DEWASA.
            “Bapak!!!”, ku ulangi terus itu, dan disaat itu juga ia malah menoleh ke arah lain dan berkata pada temanku “heei aini, kamu . . . “, ya Tuhan, aku dianggap tidak ada, dan dia temanku? Mereka tertawa terus menerus dan mengganggapku seperti bayangan semu yang seharusnya diabaikan. Sering aku diperlakukan seperti itu. Semua pendapat, ucapan, dan sejenisnya seolah ia tolak, ia lemparkan saja ke tong sampah.
            Demi apapun, aku merasa tidak nyaman disini, ditambah ketika ada orang baru yang masuk ke lingkup aneh ini. Aku tahu Ima baru, tapi apakah perlakuannya tidak berlebihan? Dan ternyata, kehadirannya membuat aku semakin tidak dihargai lagi disini. Apa ada orang tua yang mengumpati anaknya sendiri di depan saudara anaknya itu sendiri. Ya Tuhan, aku dianggap orang paling kejam yang tidak pernah memasang muka manis di depan Ima. Entahlah, harus berbuat apa aku.
            Aku tidak kaya, Tiwi kaya. Aku tidak memiliki fisik bagus, fisik Tiwi luar biasa. Aku tidak  feminin dan  jangan ditanya, Tiwi ahlinya. Tawa aneh, celetukan basi, tarik-tarikkan, pertanyaan dan jawaban bodoh, semua itu mereka lakukan dengan canda tawa nan riang tentunya. Mereka akrab sekali, aku iri!
            Ada suatu ketika, aku, Tiwi, Aini, dan Ima duduk di tangga bersama sambil bersanda gurau, tak lama kemudian datanglah Pa’Anto. Sial, sudah ku duga aku dianggap tidak ada. Sakit rasanya mereka tertawa sedangkan aku dianggap ilalang saja. Ingin ku robohkan tangga itu ketika lelucon ku dianggap sebagai bunyi kereta api yang sangat bising dan  seolah mereka pun berpikir sebaiknya menutup telinga.
            Masuklah aku ke kamar cepat-cepat, ku ambil bantalku dan teriaklah aku. Begitulah seterusnya, dan aku benar-benar muak dengan semua itu. Untungnya, aku tidak sendiri, aku bersama temanku yang biasa dipanggil Ika, mengalami hal serupa. Tak jarang kami berdua saling berbagi cerita bagaimana anehnya kami diabaikan. “Entahlah, mengapa kita yang harus menjadi korban utama diskriminasi di lingkup ini?”, tanya Ika kepadaku, dan ku jawab dengan intonasi tinggi “Kita jelekkah? Bodohka? Miskinkah?”, ku lanjutkan dengan nada yang lebih tinggi “kita selalu piket dan menjaga kebersihan, sopan santun selalu kita terapkan, disiplin sudah menjadi salah satu ciri kita, soal prestasi kita benar-benar tidak kalah, berperan aktif di bidang-bidang positif pun sudah kita jalankan, apa salah kita?”, Ika pun mengeluarkan celetukkannya “Karna Tuhan menciptakan wajah sinis kepada kita! Hahaha “, disitu aku berpikir, tidak cukupkah aku yang tidak tahu malu ini selalu tertawa dimana-mana? Senyumku sudah tersebar dimana-mana, apa yang kurang, kawan?
            “Hahaha, ada-ada saja kamu Tiara, selalu saja mengocok perutku dan membuat mulut tak mampu membungkam karna gelak tawa yang timbul akibat keanehanmu!”, cetus Tria yang entah itu pujian akibat keahlian ku membuat tawa atau celaan yang dikarnakan keanehan yang aku banggakan ini. Sontak tawa pun makin menderai disini, tangga kenangan ku sebut. Beberapa langkah terkulai menapaki keramik putih menuju arena tawa yang sedang kami ciptakan. Benar saja, itu Pa’Anto datang seolah ingin bergabung. Hati beriak-riak senang namun mengalir pula rasa enggan melihat pola persahabatan yang ia pancarkan. Disitu, seolah tak memperdulikan manusia itu, kami tetap bersenda gurau. “Pasti senang sekali rasanya jika mempunyai anak seperti Aini, betul tidak Ni?”, suara aneh itu seolah perintah agar kami diam, kami terbungkam. Semu, benar-benar semu kasih sayang, kekeluargaan, persahabatan, dan kehangatan yang ia pancarkan. Dugaanku benar, aku dan Ika  dianggap seperti nyamuk saja. Setiap suara yang kami ucapkan, ya seperti    nyamuk, dibalas dengan pukulan. Kami mati, benar-benar mati disitu.
            “Sewaktu aku pulang bersama Aini tadi, Pa’Anto menyapa Aini saja. Segera saja aku bergegas ke atas dengan memasang raut wajah yang kesal. Ternyata, Pa’Anto menyadari bahwa aku tak menerima perlakuannya, segeralah ia menegurku dan bertanya ada apa denganku, ku jawab saja aku sedang lelah. Demi lebah yang mengumpulkan madu, aku kesal sekali.”, dengan emosi yang menggebu-gebu Ika bercerita padaku dalam posisi baru setelah ibadah. “Hahaha, seperta tak biasa saja, bukannya sudah biasa diperlakukan begitu”, tukas ku. Diselah obrolan kecil kami, tak lama Pa’Anto mengambil alih perhatian kami semua dengan kalimat “Setelah ini, seluruh kelas X dan XI ke kamar bapak”, “Ada apa ini? Apa yang akan dibicarakan? Pasti Ima? Pasti karna etika kita?” banyaklah prasangka-prasangka aneh yang memenuhi pikiran anak-anak kelas X saat itu.
            “Sudah kumpul semua?”, tanya Pa’Anto. “Sudah Pak! Ngomong-ngomong, tujuan semuanya kumpul disini apa pak?” tukas seorang dari kami. “Disini, bapak merasa aneh. Apakah memang tingkah kalian dari dulu seperti ini, ataukah hanya ketika bapak yang menjadi pembina kalian disini? Seandainya dari kalian ada yang tidak suka dengan kehadiran bapak, dengan senang hati dan tampa mengurangi rasa hormat, bapak akan keluar.” Langsung saja Pa’Anto memulai evaluasi ini dengan pertanyaan dan pernyataan.
            Satu, dua, tiga, tak terasa sudah hampir setengah dari kami angkat bicara. Pendapat, saran, keluhan, kritikan, dan berbagai jenis pembicaraan diutarakan disini. Semuanya terasa klise menurutku. Tak lama kemudian, teman senasib dan sepenanggunganku angkat bicara. “Pa, maaf sebelumnya. Disini aku merasa bapak berat sebelah, betapa tidak perhatian bapak didominasi dengan mereka. Maaf sebelumnya juga, menurutku dan mungkin juga menurut Tiara . . “, sontak akupun menoleh kehadapannya dengan sedikit senyum kecil ditepi bibir kananku seraya menggeleng kecil. Tanpa memperdulikan tanggapanku, Ika pun lanjut saja bicara “Bapak terlalu mendominasi ke maaf, Aini, Tiwi, dan Tria. Mungkin bapak tidak merasa itu, tapi jelas sangat jelas aku dan Tiara sangat teramat merasakannya”, seraya bicara, Ika mencucurkan air mata, entah karna kesal, sedih, atau apa. Tak disangka, suasana semakin haru, serius, dan semakin dalam menuju klimaks. Air mata yang lewati pipinya tak ia hiraukan, terus saja ia mengeluarkan isi hati “Aku bingung pa, apa yang salah dengan kami. Apakah kami pernah buat salah sampai bapak terlihat menjauhi kami. Bapak itu sangat berbeda dengan Pa’Aldi, jika dihitung-hitung, total Pa’Aldi menyebut nama kami semua itu rata sedangkan bapak mungkin perbandingan menyebut nama Aini dan aku seperti perbandingan jumlah guru dan siswa ketika di dalam kelas. Sumpah demi pohon yang tumbuh, aku sangat merasa tidak nyaman disini. Tak jarang terlintas ingin keluar dari lingkup ini. Selanjutnya, Ima. Apakah tidak terlalu berlebihan kalo Ima diperlakuka seperti ini, bapak terlalu memanjakan ia pak. Sepertinya juga, mulai tercium aroma diskriminasi disini. Ya, mungkin Cuma itu saja yang ingin aku sampaikan pak, alhamdulillah aku lega, meskipun setelah ini tak ada perubahan, setidaknya bapak tau dimana letak kesalahan bapak.”, aku bingung dengan kalimat yang disampaikan Ika, kalimat bagian manakah yang membuat anak-anak yang lain disini ikut menangis?
            Ternyata, anak-anak lain juga memiliki pemikiran sama, namun mereka tak separah kami berdua. Satu per satu yang lain mulai bicara dan mengungkapkan isi hati dan pikirannya. Pada dasarnya tak jauh berbeda, tapi disini banyak yang curhat! Demi ujian nasional 10 paket, kenapa jadi curhat?
            Ada beberapa cerita yang katanya terkesan sedih “Pak, cukup di rumah aku dicambuk dengan diskriminasi. Ibuku mendominasi kakakku, ayahku mendominasi adikku, nah aku? Apakah bapak juga akan seperti itu?” kasihan, dengan nada haru Tria menceritakan ceritanya. “Dirumah, aku tinggal bersama nenekku, nenekku lebih memperdulikan kakakku. Entah pernah melakukan dosa apa sehingga nasibku dirumah seperti itu. Hal itu membuat ku lebih bahagia hidup dengan pola diam dan sendiri. Maaf teman-teman, jika menurut kalian aku orang yang menganut paham individualisme, tapi bagaimana lagi, aku minder.” Lili dengan beberapa tetesan air mata bercerita.
            Tak ingin kalah, aku memanfaatkan momen demokrasi ini. “Soal tingkah laku, sopan santun, tata krama, adat, etika, dan sebagainya aku sudah berusaha maksimal untuk memperbaiki itu semua. Jika usaha maksimalku itu belum ternilai dengan kata lulus KKM, aku pasrah. Terserah mau anggap aku apa, aku minta maaf dan jika masih mengharapkan aku sempurna, tegakkan dulu benang basah. Oh iya pak, pak maaf sekai sebelumnya, bapak tahu tidak kalau yang dikatan Ika tadi 99% benar! 1% nya, ia hanya kurang dalam menuturkan beberapa kalimat. Begini pak, apa sebenarnya yang membuat bapak seolah enggan berkomunikasi dengan kami. Kami jelek? Kami bodoh? Kami tidak humoris? Setauku pak, aku ini sudah tidak ada malu lagi untuk melakukan hal konyol demi tertawa. Selera humorku baik, pengetahuanku juga tak cukup kalah dengan yang lain jika bapak ingin berbincang. Aku pun juga punya perasaan dan pemikiran yang aku yakin tidak kalah dengan yang lain untuk diajak berkompromi dan bermusyawarah. Dan satu hal pak, aku bingung mengapa Tuhan menciptakan susunan wajah yang sinis seperti aku. Aku tahu bapak mengumpatiku dengan yang lain mengenai perlakukanku terhadap Ima. Bapak anggap aku sinis dan tak memasang wajah bersahabat terhadap Ima kan? Asal bapak tahu, yang paling peduli itu aku pak! Tapi karna bapak hanya melihat cetakkan wajahku, bapak beraanggapan akulah dalang dari semua permusuhan yang terjadi. Banyak pak sebenarnya yang ingin aku sampaikan, untuk saat ini, cukup itu dulu. Makasih pak, maaf.”
            “Ada lagi, bapak rasa cukup. Berhubung ini sudah larut, bapak akan menanggapi pembicaraan kalian terutama soal diskriminasi”, langsung saja tatapanku menajam ke arah Pa’Anto. “Ika, kelas XII malah berpendapat bapak paling dan terlalu dekat dengan kamu. Dan kamu Tiara, bapak mengaanggap kamu itu apa ya, bapak itu menganggap tanpa bapak kamu sendiri bisa membangun kepercayaan diri sendiri. Bapak sengaja tidak terlalu mendekatkan diri ke kamu ya karna bapak tahu, kamu itu berbeda dengan temanmu yang lain. Bapak merasa yang lain itu masih butuh dorognan untuk mendapatkan kerpercayaan diri dan harus diberikan rasanya nyaman agar bisa beradaptasi. Sedangkan bapak anggap kamu tidak membutuhkan itu. Kamu bisa membangun kepercayaan diri secara mandiri, bisa memasuki lingkup luas dengan cepat, mudah beradaptasi dan tak memerlukan banyak bimbingan.” Diutarakanlah alasannya kepada kami semua terkhusus aku dan Ika.
            Heran, senang, bangga, lega, bahagia, bersalah, dan semua rasa lainnya beradu dalam pikiran dan hati. Semuanya jelas untukku. Tak ada diskriminasi, yang ada hanya suatu perlakuan yang berbeada karna kami berbeda kebutuhannya.
            Setelah itu, tak ada lagi diskriminasi. Sosialisasi, kerjasama, dan keanehan yang banyak terjadi. Ibarat kimia, semuanya setara. Ibarat akuntasi semuanya balance. Ibarat kehidupan, entahlah ibarat apa, yang pasti semua jelas, aku puas, dan hal ini tak terbalas.

1 komentar: